Menjadi ibu, bekerja, dan urusan domestik
Suami istri yang kompak, ayah bunda yang bijak Sumber: Darwis Alwan, Pexels.com |
Menjadi ibu bekerja dengan istilah kerennya ‘working mom’ dan memiliki 3 anak yang memiliki beda usia yang berdekatan, hanya beda usia 1 dan 2 tahun rasanya wow banget! Membagi waktu antara pekerjaan, anak-anak, dan urusan domestic lainnya memerlukan koordinasi ‘tim keluarga’ yang baik. Mendidik dan merawat balita yang lucu dan aktif merupakan sebuah tanggung jawab, juga pengabdian sebagai ibu dan istri.
Hal ini juga merupakan tantangan atau challenge yang harus dilaksanakan dengan
baik, terutama dengan pembagian waktu, antara sebagai pekerja, sebagai ibu, dan
sebagai isteri. Kemampuan dan kemauan
untuk ‘berbagi tanggung jawab domestik’ dengan pasangan juga sangat diperlukan.
Semasa saya gadis, tidak terbayangkan untuk
menyandang predikat yang memiliki tantangan cukup besar ini. Semua peran, tentu memiliki tantangan harus
dijalani dengan baik! Kerjasama yang
baik dengan suami, tentu sangat diperlukan, agar keluarga tetap harmonis, namun
tugas di kantor tetap oke, bukan?
Beruntung, memiliki suami yang sangat pengertian, sehingga seluruh tugas
di rumah, baik yang menyangkut urusan domestik, maupun yang terkait anak-anak,
dikerjakan bersama, diselesaikan bersama.
Pembagian ‘tim keluarga’
Sebagai ‘tim keluarga’ tentunya setiap orang
yang berada di dalamnya harus bekerja dengan senang hati dan ikhlas, tanpa
merasa terpaksa sedikitpun. Kalau kita
mengerjakan pekerjaan dengan’terpaksa’ atau tidak ikhlas, maka pekerjaan yang
dihasilkan pun tidak berguna.
Pekerjaan prioritas adalah yang terkait dengan anak!
Bagi kami, pekerjaan prioritas yang dilakukan
adalah yang terkait dengan anak-anak, pelajaran anak, makan anak, pakaian anak,
kebersihan dan kebahagiaan anak.
Prioritas berikutnya adalah kebersihan dan keindahan rumah, dan hal-hal
lainnya.
Saya akui, saya bukanlah superwoman, wanita
yang serba bisa, serba hebat. Saya
adalah wanita biasa yang memiliki hobi membaca dan belajar. Sejak sebelum menikah, jika saya mengerjakan
pekerjaan rumah tangga terus-menerus dalam sehari, maka akan sakit pada hari
ke-4, sakit selama 3 hari pula! Agak
ringkih bukan, tubuh saya? Namun, karena
memiliki tekad yang kuat, maka saya optimalkan sisi kelebihan, yaitu hobi
membaca dan belajar, serta rasa percaya diri yang tinggi!
Yup, saya memiliki rasa percaya diri yang
tinggi, dan yakin bahwa kita In sya Allah ‘bisa’ mengerjakan sesuatu, kalau
mau! Namun, kekuatan fisik, bukanlah
saya yang mengatur, sehingga cepat lelah.
Ketika lelah menyapa, maka hal itu merupakan alarm tubuh untuk segera
beristirahat. Jika mengabaikan ‘alarm’
tersebut, maka sakit saya akan menjadi berlarut-larut, yang tadinya Cuma istirahat
sehari, bisa jadi butuh sampai 3 hari!
Alhamdulillah punya pasangan yang mengenali
kelemahan fisik saya, maka secara tak tertulis, kewajiban saya lebih condong ke
pendidikan anak-anak. Mengajari mereka
membaca, berhitung, mewarnai… hmm kalau menggambar atau membuat prakarya yang
tidak saya kuasai, maka yang membimbing adalah suami. Bahkan mengaji di rumah pun, saya yang
ajarkan. Maklum, semasa kuliah, saya
mengajarkan anak-anak dekat kost-an mengaji dengan menggunakan buku Iqro’!
Suami lebih care dengan kebersihan dan kerapihan rumah. Ia yang mengajarkan anak0anak cara menyapu
maupun yang mengepel yang baik, karena hasil kerjanya memang lebih rapi! Mungkin karena ia memiliki background kuliah
di perhotelan, yang menuntut kebersihan dan kerapian pekerjaan… Suami juga
lebih ahli memasak dari saya, karena memiliki background pendidikan di food production dan ibu serta
kakak-kakak perempuannya jago masak.
Beda dengan keluarga saya yang walaupun
bersaudara perempuan semua, tetapi lebih sibuk bisnis salon di rumah, jadi
tidak fokus dengan memasak ataupun pekerjaan ‘keperempuanan’ lainnya.
Menjadi ‘tim keluarga’ yang saling memahami
Nah, berdasarkan background kami
masing-masing, saya dan suami pun mengerjakan apa yang bisa kami kerjakan,
tanpa memprotes atau ‘nyinyir’ terhadap kelemahan pihak yang lain. Hal ini karena saling ‘nyinyir’ antara pasangan
suami isteri, hanya akan membuat masalah, tidak menyelesaikan masalah, padahal,
masalah harus diselesaikan sendiri oleh suami dan isteri yang bersangkutan,
bukan?
Sejak awal memiliki anak, kami hampir selalu
punya seorang asisten rumah tangga (ART) untuk membantu pekerjaan kami di
rumah, serta membantu menjaga anak-anak.
Namun, karena mereka silih berganti pulang kampong dengan berbagai
alasan, ibu sakit, nenek sakit, mau kawin, nggak betah, yang tentunya
mengganggu ritme pekerjaan saya di kantor. Biasanya saya akan izin tidak masuk kantor
kantor, kalau tidak ART, tentunya atasan saya di kantor, lama kelamaan tidak
suka dengan hal tersebut, bukan?
Maka, ketika Zikri, anak bungsu kami, genap berusia
2 tahun, kami pun resmi tidak memiliki ART lagi. Terlebih, ketika melihat ART di depan rumah
kami dengan semena-mena membenturkan kepala anak balita majikannya ke tembok
ketika kedua orang tuanya bekerja, aduh ngeri, ya?
Jadi, mulailah kami membagi pekerjaan secara
otomatis berkaitan dengan pendidikan anak dan kebersihan rumah.
Pagi hari dimulai dengan kami, mandi terlebih
dahulu, kemudian shalat Subuh, berikutnya membangunkan anak-anak
berturut-turut, Rahmi, Aulia, dan Zikri untuk bangun pagi dan shalat
Subuh. Sementara saya memandikan anak-anak, juga mencuci pakaian di mesin cuci.
Selesai, anak-anak mandi, mereka akan shalat Subuh, sedangkan saya akan
membilas pakaian. Sementara ayahnya
mempersiapkan sarapan pagi dan bekal yang akan dibawa anak-anak ke
sekolah. Ketika anak-anak menyantap sarapannya,
saya pun menjemur pakaian.
Dengan pembagian tugas tersebut, rumah tetap
rapi dengan tidak ada pakaian kotor, dan anak-anak pun rapi dan disiplin untuk
bersekolah, bukan? Sedangkan Zikri, kami
titipkan ke ibu saya yang letaknya tidak berjauhan dari rumah kami. Pernah suatu waktu Zikri yang sudah
bersekolah kelas 1 SD, bertanya,”Ayah, koq tidak sama, sih, dengan yang ada di
buku pelajaran Zikri?”
Penasaran dengan pertanyaan Zikri, kami pun
bertanya serempak,”Iya, Ayah, Bunda, kok di buku Zikri yang memasak ibu, tetapi
di sini (rumah), kok yang memasak Ayah, bukan Bunda?”
Sejenak terdiam, memikirkan jawaban yangtepat, saya pun menjawab,”Zikri, tidak semua rumah keadaannya sama, nah, di
buku Zikri, yang memasak ibu, tetapi di rumah yang memasak adalah Ayah”.
Segera disambut oleh raut wajah lucu Zikri,”O,
begitu ya, Bun?” sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda puas dengan
jawaban yang diberikan.
He he he, bundanya kalah jago masak dari ayah,
bahkan Rahmi dan Aulia pun sudah pintar memasak pada saat kelas V SD. Mengapa saya bilang pintar memasak? Karena jika mencampurkan bumbu-bumbu, bahkan
untuk menggoreng telur dadar atau pun telur mata sapi, rasanya akan pas di
lidah. Beda dengan bunda yang suka
kurang pas rasanya ketika memasak makanan, he he he.
Pada saat pulang bekerja, biasanya bertepatan
dengan azan Maghrib, saya akan menjemput anak-anak terlebih dahulu di rumah
neneknya, baru kemudian pulang ke rumah.
Pada saat itu, ayah mereka sudah sampai di rumah, karena ia tidak suka
rumah tidak bersih, maka akan langsung menyapu dan mengepel lantainya, baru kemudian
mandi dan beristirahat. Jika pulang
bekerja, biasanya ayah membawa ‘buah tangan’ berupa snack atau gorengan,
anak-anak sangat suka dan dengan tidak sabar akan menyantapnya dengan seru
bertiga! Ah, anak-anak, lucunya mereka!
Selesai saya mandi, maka anak-anakpun belajar
bersama dengan segala tingkah polahnya, kadang-kadang semangat belajar, kadang-kadang
pura lupa, kadang-kadang pula pura-pura mengantuk! Nak, Bunda sudah lewat masa itu! He he he. Untuk menyeterika baju, terkadang saya yang
mengerjakan, terkadang ayahnya yang mengerjakan, tergantung kepada siapa yang
punya waktu luang. Menyeterika biasanya
dilakukan pada malam hari, Sabtu/Minggu, atau hari libur.
Selain belajar, anak-anak pun dididik untuk
shalat dan mengaji, memang mendidik anak tidak mudah, kita sebagai orang tua
harus rajin mengingatkan mereka!
0 Comments