Pindah ke rumah nenek dan juga pindah sekolah
![]() |
Pindah rumah Sumber: Thgusstavo Santana, pexels.com |
Saat Rahmi kelas IV Sekolah Dasar (SD) di sebuah Sekolah Dasar Islam
Terpadu, Aulia baru saja kelas I SD, dan Zikri baru menjelang masuk TK, diputuskanlah
kami untuk pindah ke rumah orang tua suami.
Hal ini, karena ibu sudah mulai pikun, dan yang dekat secara pribadi
adalah suami. Oleh sebab itu, kami harus
tinggal di rumah Tebet untuk menemani beliau berdua.
Pindah rumah dan pindah sekolah dari daerah Jakarta Timur ke
Jakarta Selatan bukanlah hal yang mudah.
Ternyata untuk pindah sekolah, kami harus mengurus surat pindah dari
sekolah, kemudian ke suku dinas pendidikan Jakarta Timur, Setelah itu kami mengurus ke pendidikan
nasional (diknas) Jakarta, barulah kami menyerahkan surat pindah ke sekolah baru di Jakarta Selatan.
Untuk mengurus surat pindah tersebut, tentu memerlukan waktu
beberapa hari, sehingga saya perlu minta izin untuk tidak masuk bekerja. Di tengah kesibukan pindah rumah dan
memindahkan sekolah anak-anak yang menyita waktu dan tenaga kami, tercetus
ucapan tidak suka dari atasan saya di kantor.
“Semua orang juga sibuk menyekolahkan anak,” ia menyindir saya
ketika meminta izin tidak masuk kantor karena akan mengurus anak-anak yang akan
pindah sekolah. Hal ini karena, walaupun
anaknya baru masuk sekolah, ia tidak pernah izin dari kantor.
“Aduh, kalau tidak karena harus menemani kedua mertua di
rumahnya, tentu saya tidak akan repot mengurus surat pindah sekolah!” ingin
saya jawab perkataan ketusnya, tetapi saya memilih untuk cepat-cepat pergi dari
hadapannya. Toh, jika saya jawab dengan
kalimat yang lebih ketus pun, tidak akan membantu kesulitan saya, bukan?
Demikianlah jadi ibu bekerja (working mom) harus banyak bersabar dengan ucapan atasan yang pada
umumnya laki-laki!
Seperti ketika saya izin tidak masuk bekerja, karena anak
menderita sakit pada atasan sebelumnya, apa yang dia katakan?
“Aduh, ibu-ibu kalau bekerja, suami sakit, izin tidak bekerja,
anak-anak sakit, izin tidak bekerja.
Bahkan dia sendiri, jika sakit pun, izin tidak bekerja!”
Rasanya sakit dan tersinggung mendengar ucapan tersebut! Tetapi apa mau dikata? Memang begitulah kenyataannya! Tentunya kalau sakitnya tidak terlalu parah,
ibu tidak akan izin ke kantor, bukan?
Namun, kesabaran saya kadang dijawab oleh Allah dengan sebuah
peristiwa.
Saat itu kami sedang rapat rutin mingguan, tiba-tiba ada telepon
ke atasan saya tersebut, ternyata anak perempuannya dirawat di rumah
sakit! Dengan tergesa-gesa, ia pun
meninggalkan ruang rapat. Pertanyaan
saya tak dijawabnya,”Anak Bapak sakit ya?”
Hmmm… baru tahu, kan, rasanya ketika anak sakit? Perasaan orang tua jadi tidak keruan, bekerja
pun tidak bisa fokus!
Beberapa hari setelah kejadian pun, pertanyaan yang sama tentang
keadaan anaknya, tidak dijawabnya, ia pura-pura tidak mendengar pertanyaan
tersebut. Padahal saya tidak bermaksud
menyindirnya, tetapi benar-benar menanyakan keadaan anaknya. Hmmm… malu ya, sudah sering menyindir terhadap
keadaan yang tidak dihindarkan oleh orang lain (anak yang sakit)? Sejak itu ia tidak pernah nyinyir lagi kepada
saya, terimakasih ya Allah, telah menyadarkannya atas kekeliruan yang dia buat
selama ini!
Mempersiapkan mental anak-anak untuk pindah rumah dan sekolah!
Pindahnya anak-anak ke sekolah baru, membuat pekerjaan rumah
(PR) bagi kami! Kami memberikan
informasi dan mempersiapkan mental mereka untuk pindah rumah dan pindah
sekolah! Hal ini agar mereka tidak kaget
dengan kepindahan kami. Mereka akan
pindah ke SD negeri, tempat ayahnya bersekolah dahulu. Kami sempat melewati dan melihat sekolah tersebut,
sebelum mereka pindah sekolah.
Satu hal yang saya khawatirkan adalah Rahmi, karena dia sangat
pendiam, jarang membicarakan isi hatinya, dan kalau tidak suka, ia akan cemberut. Jarang sekali saya melihatnya tersenyum atau
pun tertawa!
Di sekolah, Rahmi hampir tidak punya teman, apalagi di
lingkungan sekolah tersebut, para ibu ikut campur urusan anak-anaknya, mereka
pilih-pilih teman. Hal ini juga karena
tubuhnya yang lebih gemuk dari pada teman-temannya!
Saya berdo’a, agar Rahmi kelak bertemu dengan teman-teman yang
baik, Aamiin. Hari pertama bersekolah di
sekolah yang baru, saya mengantar Aulia dan Rahmi ke sekolahnya di SD yang
sama, sebelum mengantar Zikri ke TK nya.
Di depan kelas Rahmi, ada beberapa anak perempuan berkumpul. Aduh, anak-anak itu kecil-kecil badannya,
berbeda dengan Rahmi yang tinggi dan gemuk!
Mudah-mudahan tidak ada bully lagi ke Rahmi! Segera saya menyapa anak-anak tersebut dan
memposisikan diri sebagai Rahmi,”Hai, aku Rahmi, nama teman-teman siapa?”
Memperkenalkan Rahmi ke teman barunya
Sambil menyapa mereka, saya pun menyuruh Rahmi berkenalan dengan
teman-temannya, sambil mereka menyebut nama bergantian,”Aku Diva”, kata seorang
anak sambil mengulurkan tangannya.
Sedangkan yang lain bernama Amira dan Natasha. Sesudah berkenalan, Rahmi diajak oleh
teman-temannya masuk ke dalam kelas.
Alhamdulillah awal yang baik!
Perjalanan saya pun dilanjutkan dengan mengantar Zikri ke TK nya
yang letaknya berdekatan dengan SD Rahmi dan Aulia. Setelah menitipkan Zikri ke gurunya, saya pun
berangkat bekerja. Pulang sekolah,
anak-anak akan diantar oleh supir ojek langganan.
Setelah beberapa lama, saya melihat betapa riang dan senangnya
di sekolah tersebut! Terbukti ketika
pulang sekolah, ia sering tersenyum, bahkan tertawa bersama adik-adiknya! Alhamdulillah ia telah melewati masa-masa
sulitnya dalam bersosialisasi!
Nilai-nilainya pun mulai merangkak naik, walaupun harus belajar sendiri
sepulang sekolah, karena kami, orang tuanya bekerja dan baru pulang di sore
hari. Alhamdulillah ia semakin mandiri!
Berbeda dengan Rahmi, Aulia sangat cuek dengan pelajarannya.
Tetapi, ia sangat pandai bersosialisasi!
Tidak perlu kenal dengan nama temannya, ia akan segera asyik bermain
dengan teman-teman barunya! Walaupun
sudah disuruh oleh gurunya untuk mencatat PR di bukunya, ia sangat jarang
memberitahukan saya bahwa ada PR. Hal
ini membuat saya harus bolak-balik berkonsultasi dengan guru wali
kelasnya!
Aulia bertemu dengan guru yang dapat memahami dirinya
Bahkan, ketika kelas III SD, ia lebih memilih dihukum menyapu
teras kelas, dari pada membuat PR yang diperintahkan oleh guru! Dia malah tidak peduli, kalau gurunya
galak! Namun, saat kelas IV SD, Aulia
diajar oleh guru baru, ibu Dwi yang melakukan pendekatan secara personal
kepadanya. Ibu Dwi bahkan dengan senang
hati duduk mengobrol di sisi Aulia yang duduk bersebelahan dengan Zikri yang
saat itu sudah kelas II SD menikmati jajanan!
Saat dididik oleh bu Dwi, Aulia memiliki nilai terbaiknya! Ia semangat mengerjakan PR dan bersemangat
untuk bersekolah setiap hari! Padahal,
sebelumnya dengan guru yang lain, ia sering tidak masuk sekolah, dengan alasan
pusing!
Ternyata, walaupun jahil, Aulia adalah anak yang akan memamerkan
prestasinya, kalau didekati secara personal!
Namun, di sekolah, agak sulit mencari guru yang mau dan punya waktu
untuk melakukan pendekatan personal ke muridnya, bukan?
Sedangkan si bungsu, Zikri, relatif mudah bersosialisasi dan
bergaul pula. Pernah di suatu kesempatan
guru TK Zikri menceritakan pembicaraan antara Zikri dan temannya.
“Ma, temannya Zikri kemarin cerita, bahwa Zikri bilang ayahku
punya uang Rp. 100 juta, dan aku tambah dengan uangku Rp. 200 juta. Jadi uang ayahku jumlahnya menjadi Rp. 300
juta,” demikian kata gurunya Zikri, bu Nia sambil tersenyum.
“Wah, Zikri dari mana ya, berhitung sampai ratusan juta? Kalau nggak salah, waktu TK, saya
berhitungnya baru sampai angka 10. He he
he.” Saya dan bu Nia jadi tertawa sambil
menggeleng-geleng bersamaan mengingat polah Zikri yang lucu. Hal ini memberikan fakta kepada saya, bahwa
Zikri memiliki kekuatan dalam berhitung, selain kekuatan bahasa!
Baik di SD, maupun di TK, Rahmi, Aulia, dan Zikri sangat senang
dengan guru-guru maupun dengan teman-temannya.
Mereka terlihat bahagia belajar dan berteman di sekolahnya
masing-masing.
Hanya di rumah Aulia dan Zikri, mereka berdua agak iseng kepada
neneknya yang semakin pikun, semakin dilarang, mereka akan semakin iseng! Tak henti-hentinya kami berdua menasehati
mereka berdua agar tak iseng kepada nenek mereka, namun tetap saja mereka
lakukan. Kami tak bisa memantau kelakuan
mereka, ketika kami berdua bekerja, namun nasehat tetap kami sampaikan kepada mereka,
agar menghormati dan tidak mengganggu neneknya.
12 Comments
Memang sifat anak-anak itu lain-lain ya walapun dari asal yang sama hehe, harus pinter-pinter lah buk mengambil hati masing-masing, agar anak bisa nyaman dan bisa menemukan jati diri mereka masing-masing :)
ReplyDeleteHii ...atasan mbakkok gitu banget sih tanggapannya.
ReplyDeleteUntungnya mbak sabar yah. Saya setuju cara mbak menanggapinya, yang paling utama itu kan anak-anak apalagi anak mau dibawa ke lingkungan yang berbeda dari sebelumnya. Sangat penting mendampingi mereka agar bisa beradaptasi dengan baik,
ahahaha drama working mom emang nyebelin ya mbak kalau atasan model ribet gitu... semoga betah di rumah dan sekolah yang baru buat anak2nya :)
ReplyDeleteWah, ketiganya karakternya unik-unik ya mba. Aku pernah punya atasan yang bikin gemetaran kalau ketemu beliau, Alhamdulillah sekarang karakternya berubah total setelah beliau hijrah dan senangnya sekarang beliau menganggapku seperti teman. Waktu aku resign beliau bercerita memang sengaja menggembleng ku saat itu agar Taft katanya..
ReplyDeleteAnak-anak masing-masing berbeda karakter ya Mbak. Tentu pindah sekolah adalah sebuah tantangan buat mereka. Tapi, Alhamdulillah semua berjalan lancar ya. Suka baca kisah hidup Mbak Eva dan keluarga ini. Banyak yang bisa dipelajari dari sini. Saya tunggu kelanjutannya:)
ReplyDeletejadi teringat saat pertama pindah rumah dengan anak yang masih balita, lumrahnya anak-anak berbagai tingkah dan ketidak sukaannya demikian jelas terpampang
ReplyDeleteMenjadi Ibu dan wanita bekerja, penuh tantangan ya Mbak. Menjaga keluarga dan bergelut juga dengan pekerjaan. Seru membaca kisahnya. Semoga semuanya berjalan lancar dan anak juga menikmati rumah barunya.
ReplyDeleteJadi ingat kisah saya dlu waktu SD, harus pindah sekolah berkali-kali karena mengikuti tugas ortu.
ReplyDeleteBaru 2 thn di sekolah baru, eh, pindah lagi. Kadang jadi iri dgn anak lain yg bisa punya sahabat sampai tahunan, sedang saya paling banter 2-3 tahun udah harus ganti teman lagi :)
Tapi menyenangkan karena punya banyak pengalaman & kenangan yg bisa diingat saat ini ketika dewasa hehehee...
Persiapan mental untuk anak ternyata memang gak mudah ya bundo bagi pindah rumah karena adaptasi lagi
ReplyDeleteorang nyinyir mah gampang ya mbak, nah tahu gimana rasanya pas dia alami sendiri. Yang penting jadi Ibu apalagi working mom itu harus seterooooong. Anak anak pun jadi bisa ketularan kuat dan mudah bersosialisasii juga. Semangat!
ReplyDeleteHarus pindah rumah dan sekolah benar-benar repot ya mba, ditambah atasan yang kurang peduli dengan repotnya Mba, untungnya anaknya bisa bersosialisasi dan berprestasi di sekolah baru, semangat terus mba
ReplyDeleteAda ada saja drama working mom hehehe. Begitulah hidup ya mbak? Semoga mbak dapat menghadapi hari2 dg baik. Rahmi Aulia dan Zikri juga bisa beradaptasi dan berprestasi :)
ReplyDelete