Mengembangkan Potensi Anak dan Menjawab Pertanyaan Kritis Anak dengan Bijak



Mengembangkan potensi diri anak


Pada usia 4 tahun, Rahmi melanjutkan pendidikannya ke Taman Kanak-Kanak (TK). Berbeda dengan pendidikannya di Taman Pendidikan Al Qur’an yang lebih bersifat informal, maka di TK lebih bersifat formal.  Karena usianya baru 4 tahun, Rahmi belum layak untuk belajar di Sekolah Dasar (SD), biarlah ia bermain sambil belajar dahulu mengembangkan potensi diri, sambil menunggu usianya cukup masuk SD.
Mengembangkan portensi anak di sekolah
Sumber: Akela, Pexels.com

Di TK Puspita Mekar, yang juga dekat rumah, memiliki murid lebih banyak, dari pada di TPA.  Rahmi tidak ada masalah dengan pelajaran membaca, menulis, berhitung, maupun bernyanyi, namun, ia tetap masih belum kurang bersosialisasi dengan teman-temannya.  Tidak apa-apa, kami hanya harus bersabar, tidak perlu memaksa Rahmi untuk dapat bersosialisasi dengan teman-temannya.
Pada saat awal bersekolah di TK, kami suka memperhatikan aktivitas Rahmi dan teman-temannya ketika mengikuti pelajaran.  Pada saat guru bertanya, kerap terlihat Rahmi dapat menjawab pertanyaan tersebut dari gerak bibirnya, namun, gurunya tidak tahu, karena suara Rahmi sangat pelan.  Ketika sedang santai di rumah, kami pun menasehatinya,”Rahmi, kalau Ibu guru bertanya, tunjuk tangan dan jawab dengan suara agak keras ya, biar Ibu guru tahu kalau Rahmi bisa jawab pertanyaannya”.
Rahmi hanya diam sambil menatap kami, dan menganggukkan kepalanya perlahan.  Begitulah Rahmi, tidak banyak cakap.  Perlahan-lahan, dia pun mulai berubah, mulai bersuara ketika gurunya bertanya, dan mulai menemukan potensi dirinya.  Sesekali ia berkomunikasi dengan teman-temannya.  Rahmi sangat suka pelajaran menari, ia sangat senang ketika mengikuti ekstrakurikuler menari.  Karena badan Rahmi cenderung gemuk, maka gerak tariannya terlihat unik dan lucu, ditambah dengan wajah bulat tanpa ekspresi yang menggemaskan.
Namun, begitu ia tetap mau mencoba ikut lomba, jika ada perlombaan memeragakan pakaian daerah atau pun lomba menari, masih tetap tanpa senyum!  Sangat jarang ada foto Rahmi sedang tersenyum.  Alhamdulillah suatu ketika ia dan tim sekolahnya berhasil meraih juara 1, ketika mengikuti lomba menari topeng betawi.  Mungkin, menari lah tempat Rahmi mengekspresikan perasaannya dan mencurahkan bakatnya! Kami, orang tuanya hanya mendorong agar bakatnya dapat tersalurkan dengan baik, dan dia dapat mengoptimalkan kemampuannya, Alhamdulillah.
Pada akhir masa sekolahnya di TK, Rahmi dan tim sekolahnya ikut perlombaan berupa operet yang diadakan oleh Universitas Negeri Jakarta (UNJ) bertempat di Taman Ismail Marzuki (TIM).  Pada operet itu, Rahmi berakting sedang di pantai mau renang bersama beberapa temannya. 
Nah, pada waktunya Rahmi ke panggung, tanpa diduga ia yang berpakaian renang sudah di panggung bersama teman-temannya, lari ke arah gorden yang memisahkan panggung dengan ruang rias.  Kemudian ia segera balik lagi ke panggung, sambil mengenakkan ban renang berbentuk bebek warna kuning di tubuhnya, masih tetap tanpa ekspresi!  Penonton serentak grrrr…. tertawa terbahak-bahak melihat kelucuan polah Rahmi!
Kami menunggu hasil penilaian juri sampai sore hari.  Pada akhirnya tibalah waktunya pengumuman pemenang lomba.  Alhamdulillah, tim sekolah Rahmi terpilih sebagai juara favorit!  Kami, para orang tua, murid dan guru TK Rahmi pun pulang dengan gembira atas prestasi yang telah diraih!
Lulus TK, Rahmi pun kami daftarkan ke Sekolah Dasar Negeri (SDN) yang terletak dekat rumah, kami tidak mendaftarkan ke SD swasta.  Namun, apa boleh buat, Rahmi tidak memenuhi persyaratan usia yang telah ditentukan oleh pihak SDN, yaitu berusia minimal 6 tahun!  Sedangkan usia Rahmi 6 tahun kurang 3 bulan!  Wah, pusing juga, apalagi sudah sangat dekat dengan tahun ajaran baru saat itu!  Akhirnya, Rahmi pun kami daftarkan di SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) terdekat, setelah mempertimbangkan 2 alternatif SDIT dekat rumah).  SDIT Al Muhajirin kami pilih dengan pertimbangan melewati bukan jalur macet, sehingga tidak membuat stress di pagi hari.

Menjawab pertanyaan kritis anak dengan bijak

Sementara itu Aulia sudah semakin besar, dan semakin jahil pula, ia tumbuh menjadi anak yang sering bergerak, lincah, dan suka bertanya.  Kadang-kadang pertanyaannya membuat saya bingung mencari jawaban yang tepat dan bijak!
Contoh pertanyaan yang diajukan Aulia ketika saya sedang memandikannya di pagi hari,”Bunda, Allah ada di mana?”
Hmm… saya pun terpaksa berfikir agak lama sebelum menjawab pertanyaan Aulia yang pendek dan memiliki dampak panjang dan dalam itu.
Sesaat kemudian saya pun menjawab,”Allah sangat dekat sayang…. Lebih dekat dari urat leher kita”.   Kemudian saya lanjutkan,”Makanya Kakak (panggilan kesayangan Aulia) harus jujur dan mengerjakan semua perintah Allah, karena Allah Maha Melihat semua perbuatan kita yang benar atau pun yang tidak.”
Sesudah mendengar jawaban tersebut Aulia diam, itu artinya dia puas dengan jawaban yang diberikan, kalau tidak puas dengan jawaban yang diberikan, ia akan kembali bertanya.
Di lain waktu, pada saat saya memandikannya, Aulia kembali bertanya,”Bunda, kalau Kakak sudah besar, Kakak menikah dengan uni Rahmi, ya?”
Wow, kaget sekali saya mendengar pertanyaan yang diajukan Aulia!  Kalau salah menjawab, tentu akan berakibat fatal dengan kedua putera dan puteri saya, Aulia dan Rahmi!
Setelah menarik nafas panjang, sambil berfikir sejenak, memikirkan jawaban yang tepat dan bijak untuk Aulia, saya pun menjawab pertanyaannya dengan nada suara senormal mungkin.
“Tidak Kakak, Kakak tidak boleh menikah dengan uni Rahmi”.  Saya pun melanjutkan jawaban,”Kalau Kakak sudah besar nanti, sudah lulus kuliah, dan sudah bekerja, maka Kakak akan bertemu dengan teman perempuan.  Nah, saat itu Kakak akan menikah.”
Saya berusaha menjawab pertanyaan Aulia yang di luar perkiraan tersebut, sejelas dan sesederhana mungkin yang bisa diterima oleh pemikiran anak berusia 4 tahun!  Mendengar jawaban tersebut, Aulia kembali diam yang menunjukkan ia puas dengan jawaban yang diberikan. 
Saya selalu berusaha menjawab rentetan pertanyaan yang diajukan anak-anak dengan baik, agar mereka tidak mencari jawaban kepada orang yang tidak tepat.  Hal ini sering saya perhatikan, banyak anak-anak di lingkungan sekitar saya, bertanya kepada orang dewasa di sekitarnya, dan dijawab dengan jawaban yang tidak benar.  Padahal jawaban tersebutlah yang akan dipercaya dan diyakini oleh anak-anak.
Apalagi untuk pertanyaan yang memiliki dampak ‘cukup membahayakan’ bagi anak-anak sendiri, tentunya orang tua harus berfikir untuk memberikan jawaban terbaik kepada mereka.  Untuk itu, saya sebagai orang tua sangat suka belajar dan membaca tentang banyak hal.  Tentunya dengan banyak membaca, akan menambah perbendaharaan ilmu dan pengetahuan yang kita miliki, sehingga dapat memberikan jawaban terbaik untuk setiap pertanyaan yang diajukan!
Saya juga suka sekali mengikuti pelatihan atau pun seminar, apalagi perusahaan tempat bekerja adalah lembaga pendidikan, tentunya sangat mendukung semangat belajar saya.  Suatu waktu saya mengikuti training tentang gaya belajar, yaitu gaya belajar visual, auditory, dan kinestetis.  Hal ini dipelajari untuk mengenal macam-macam gaya belajar mahasiswa yang kami didik.  Namun, kelak pengetahuan ini pun dapat saya gunakan untuk mengenali gaya belajar anak-anak saya.  Sehingga mereka dapat belajar lebih efektif, Alhamdulillah!








Post a Comment

1 Comments

  1. betul ya kadang kita suka malas menjawab pertanyaan mereka malah bilang nanya terus sih

    ReplyDelete