Anak-anak yang makin remaja
Bisnis kuliner Sumber: Timur Saglambilek, pexels.com |
Bertambah besarnya anak-anak, terutama yang laki-laki, Aulia dan Zikri, maka mereka semakin sulit diawasi oleh nenek dan tantenya. Sesudah pulang sekolah, mereka merayu nenek dan tantenya untuk mendapatkan uang jajan tambahan. Setelah mendapatkan uang jajan tambahan, mereka segera lari ke warnet (warung internet)! Kami khawatir, mereka akan semakin sulit diatur ketika dewasa nanti!
Mami mengadukan
perilaku anak-anak kepada saya,”Anak-anak (Aulia dan Zikri), sekarang sudah
makin sulit diatur, Mami tidak sanggup lagi untuk menjaga dan mengawasi
mereka. Bagaimana jika kita buat bisnis
kuliner dan dibuka di halaman saja, kan rumah kita (rumah mami) ada di pinggir
jalan raya yang cukup strategis, jadi anak-anak lebih terawasi dengan baik?”
Saran membuka bisnis kuliner
Saran membuka bisnis
kuliner, tentunya memerlukan perhitungan yang panjang dan cukup matang. Tentunya yang paling diperlukan dalam bisnis
ini adalah suami saya, karena ia memang chef di hotelnya spesialisasi masakan
Indonesia! Bahkan, ketika hotelnya yang
berada di seberang terminal Blok M membuka restoran Padang, satu-satunya
restoran Padang milik hotel, maka ia lah chef di restoran Dapua Rampah
tersebut!
Yup, suami saya memang
ahli memasak masakan Minang/Padang. Hal
ini karena terbiasa di keluarganya yang terkenal ahli masak, terlebih ia pun
lulusan Diploma (D3) Perhotelan jurusan Food Production!
Pertimbangan terjun ke bisnis kuliner
Banyak hal yang harus
kami pertimbangkan untuk membuat bisnis kuliner sendiri.
Jika berbisnis kuliner,
Pertama, dengan
berbisnis, berarti kami tidak mendapatkan jaminan penghasilan tetap per-bulan,
sedangkan, anak-anak sudah semakin besar, pengeluaran pun bertambah cukup
besar.
Kedua, dengan
berbisnis, kami memasuki wilayah dengan tingkat resiko yang cukup tinggi. Perlu perencanaan yang matang dalam
menjalaninya. Selalu ada resiko
kegagalan dalam berbisnis, tentunya tidak ada yang mau gagal, bukan? Semua orang ingin bisnisnya langsung sukses,
bukan?
Ketiga, dengan
berbisnis, saya memiliki waktu luang yang cukup untuk keluarga. Memiliki waktu luang untuk mendampingi papi
yang sudah mulai bolak-balik ke rumah sakit, karena komplikasi penyakit yang
diderita. Jika saya bekerja, tidak bisa
menemani beliau memeriksakan kesehatan ke rumah sakit, bukan? Memiliki waktu untuk lebih menerapkan
disiplin belajar bagi anak-anak, tentunya masa depan yang cerah, tidak didapat
dari banyak bermain, bukan?
Keempat, kami memiliki kekuatan dari segi masakan Minang khas Kapau yang belum ada di wilayah kami, serta rasa masakan yang sudah diakui dan digemari banyak orang, baik di lingkungan keluarga, teman-teman, atau pun pelanggan pada hotel tempat bekerja suami, dan lokasi usaha yang strategis
Jika kami tetap bekerja,
Pertama, kami akan
selalu mendapatkan jaminan penghasilan tetap per-bulan. Namun, saat ini saya sudah sangat jenuh
bekerja, setiap akan berangkat kantor, saya seakan melihat video yang
terpampang nyata di depan mata, setiap belokan yang akan dilalui, bahkan
kejadian yang akan terjadi di kantor sudah bisa saya ramalkan! Maklumlah sudah 18 tahun saya bekerja, saya
sudah masuk tahap sangat jenuh!
Kedua, kami tidak
dapat menjaga dan mengawasi anak-anak, terutama yang laki-laki, yang makin
pandai berkilah dan mencari akal, agar bebas bermain. Tentunya, saya tidak dapat membayangkan,
bagaimana perkembangan sekolah mereka nantinya!
Ketiga, kondisi suami
yang makin lelah sepulang bekerja. Hal
ini karena pada saat itu, jalan layang di sepanjang jalan Kapten Tendean,
Jakarta Selatan sedang dibangun, sehingga jalan menuju hotelnya semakin
macet. Untuk pergi dan pulang dari
hotelnya bisa memakan waktu 2 sampai 3 jam, sehingga hampir 5 sampai 6 jam
dihabiskan dalam perjalanan!
Kami berdiskusi
tentang pilihan kedua alternatif ini, antara bisnis dan tetap bekerja. Keyakinan terakhir adalah, prioritas utama
adalah pendidikan anak! Saya harus
berada di sisi mereka, demi kesuksesan mereka di masa depan!
Memulai bisnis kuliner dan resign dari pekerjaan, keluar dari zona nyaman!
Setelah menelaah
berbagai pertimbangan, segera kami putuskan untuk berbisnis kuliner dan resign
dari pekerjaan! Bekerja sama dengan adik saya suami isteri. Kami meminjam modal awal Rp. 100 juta dari
bank, dengan cicilan Rp. 5,4 juta per-bulan.
Perkiraan anggaran awal untuk investasi membangun dapur dan tempat usaha
yang pada awalnya hanya di anggarkan Rp. 25 juta, membengkak menjadi Rp. 75
juta! Sehingga hanya tersisa Rp. 25 juta
untuk dana operasional!
The show must go on, bukan? Bisnis kami beri
nama ‘Dunsanak’ yang artinya keluarga dalam Bahasa Minang. Rumah makan kami buka tepat hari ke-3 bulan
Ramadhan tahun 2015. Kami memproduksi
masakan Minang dengan sayur khas ‘sayut kapau’ yang dijual pada saat suami
bertanggung jawab di restoran ‘Dapua Rampah’.
Yup, kami menjual masakan Minang khas masakan Bukittinggi!
Masakan Minang yang
kami hidangkan adalah masakan khas Sumatera Barat dataran tinggi yang kaya akan
rempah-rempah tradisional. Berbeda
dengan masakan Minang dataran rendah yang telah dipengaruhi oleh masakan Arab
dan India, lebih dominan menggunakan kari.
Berbagai masakan, kami
hidangkan di Rumah Makan ‘Dunsanak’, antara lain, rendang daging, rendang
limpa, gulai tunjang, gulai hati, gulai ayam, ayam bakar, ayam goreng, telur
dadar gambuang, ikan kembung balado,
ikan kembung dan nila bakar, sayur kapau, sayur daun singkong, serta sambal
lado hijau. dan sambal lado merah.
Karena suami memiliki
background pekerjaan dan pendidikan hotel, maka ia tidak mau menghasilkan
masakan dengan kualitas ‘sembarangan’.
Ia selalu berusaha menghasilkan masakan dengan kualitas yang terbaik! Karena bagi seorang mantan chef hotel,
kualitas masakan adalah hal yang paling penting untuk dijaga dan dihasilkan.
Pada awal pembukaan rumah
makan kami, kebanyakan pelanggan yang datang adalah orang-orang yang ‘tahu
rasa’ masakan, mereka begitu menikmati masakan yang disantap. Pada saat itu harga cabai merah masih pada
kisaran Rp. 20.000-Rp. 24.000 per kg.
Harga bawang merah masih kisaran Antara Rp. 18.00-Rp. 20.000 per kg,
harga-harga masih normal. Mengapa saya
sebut contoh harga barang-barang tersebut?
Karena barang tersebut banyak digunakan di masakan kami, selain barang
lainnya.
Menjelang hari Raya
Iedul Fitri (lebaran), seperti biasa harga-harga terus merangkak naik. Biasanya, 2 minggu setelah Lebaran,
harga-harga kembali turun kembali mendekati harga normal.
Pada saat itu cukup
banyak pelanggan yang datang, hal itu menggembirakan hati kami. Mereka menyukai rasa khas dari masakan kapau dan
Bukittinggi kami. Hal ini tentunya
karena komitmen kami dalam menjaga kualitas masakan! Rasa masakan kami adalah rasa masakan rumahan
yang bumbu-bumbunya sangat terasa dan menggigit lidah. Suami saya, sebagai chef dibalik kualitas
masakan yang dihasilkan dengan rasa dan penampilannya yang menggoda untuk
segera disantap.
Pelanggan-pelanggan
kami adalah masyarakat di lingkungan, serta teman-teman SMP, SMA, dan
teman-teman kantor, terimakasih atas kepercayaannya kepada masakan kami. Kami juga mempromosikan masakan Minang
‘Dunsanak’ di facebook (FB) dan Instagram.
Biasanya saya yang berinisiatif untuk memfoto masakan dibantu suami
dengan peralatan foto sederhana.
Alhamdulillah foto sederhana yang kami hasilkan, cukup menggoda
teman-teman FB dan Instagram untuk order masakan kepada kami.
Meroketnya harga-harga, berimbas pada bisnis kami
Memang kami akui,
bisnis ini masih belum memberikan keuntungan yang diharapkan, terlebih ternyata
keadaan ekonomi makin hari makin kurang baik setelah lebaran. Sehingga pelanggan cenderung memilih masakan
yang berharga murah, dengan tidak mempertimbangkan kualitas rasa! Dalam mempromosikan masakan kami, juga
bekerjasama dengan Go Food. Order lewat
Go Food lumayan banyak, namun belum cukup menutupi biaya operasional, terlebih
harga-harga barang setelah lebaran terus meroket, sehingga profit kami kian
lama kian menipis!
Bukan hanya kami saja
yang merasakan tingkat inflasi yang kian tinggi, pedagang=pedagang di pasar,
tempat kami membeli bahan baku juga mengeluh tentang kenaikan harga barang yang
tak terkendali! Seringkali kami dapati
pasar terlihat lengang, hal yang jarang kami dapati pada tahun-tahun sebelumnya. Kadangkala pedagang daging, pedagang ikan,
bahkan pedagang bumbu yang banyak kami gunakan, mengeluhkan tentang meroketnya
harga-harga! Rata-rata harga menetap di
angka 2 kali lipat atau 3 kali lipat dari harga semula!
Kadangkala ketika
berbelanja dengan membawa penghasilan yang didapat sehari sebelumnya, saya
bingung, karena tidak cukup untuk berbelanja hari itu! Masakan yang dihidangkan, juga seringkali
tidak habis terjual! Orang lebih memilih
menahan untuk makan di luar atau memilih makanan yang murah tanpa memperhatikan
kualitas rasa. Tertatih-tatih kami memperjuangkan kelangsungan operasional
rumah makan kami.
1 Comments
Kisah yang menginspirasi dan bermanfaat
ReplyDeleteJejak Mufassir
Updeets